*Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha*
Ada satu nama yang seakan tak bisa dilewatkan ketika kita bicara tentang gerakan intelektual Islam Indonesia di abad ke-20: Nurcholish Madjid, atau yang akrab disapa Cak Nur. Ia bukan pendidik dalam pengertian teknis, bukan pula pengasuh pesantren yang setiap hari bergelut dengan kurikulum, kelas, dan raport. Tapi ia adalah guru bangsa—seseorang yang memantik api berpikir dalam gelapnya stagnasi keislaman dan keindonesiaan.
Namun, seiring berlalunya waktu, nama Cak Nur perlahan surut dari ingatan generasi baru. Bahkan di kalangan civitas akademika lembaga pendidikan Islam, pemikiran Cak Nur tidak selalu menjadi rujukan utama. Mungkin karena ia terlalu “berani”, terlalu “liberal”, atau karena tema-tema yang ia geluti dianggap bukan ranah pendidikan formal.
Padahal jika kita tengok lebih dalam, ide-ide Cak Nur adalah sumber daya intelektual yang kaya, yang bisa menjadi semangat dan arah bagi pembaruan pendidikan Islam di era ini.

*Cak Nur: Antara Tradisi dan Transformasi*
Cak Nur tumbuh dari rahim pesantren, lalu terbang ke langit akademik modern, dari Ciputat hingga ke Chicago. Ia menjembatani dua dunia yang seringkali dianggap bertentangan: keislaman tradisional dan pemikiran modern.
Salah satu gagasannya yang terkenal adalah ungkapan: “Islam, yes. Partai Islam, no.” Sebuah pernyataan yang membuat gempar, tetapi justru membuka jalan panjang diskusi tentang hubungan Islam dan politik, Islam dan negara, bahkan Islam dan pendidikan.
Bagi Cak Nur, Islam adalah nilai spiritual dan etis yang harus menjadi ruh dalam setiap aspek kehidupan, bukan sekadar atribut formal yang dikemas dalam institusi politik atau birokrasi. Maka, kalau kita tilik lebih jauh, pendidikan Islam pun harus dimaknai sebagai proses memanusiakan manusia, bukan sekadar transmisi dogma.
Dalam kuliah-kuliahnya, Cak Nur sering mengutip Iqra’ sebagai fondasi epistemik pendidikan Islam. Tapi ia tak berhenti pada pengertian harfiah “membaca”, melainkan membawanya kepada semangat pembebasan intelektual. Ia menyitir kata-kata Ali bin Abi Thalib, “Ajari anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu.” Sebuah pesan yang menjadi pondasi penting untuk reformasi pendidikan Islam hari ini.
*Pendidikan Islam: Antara Sakralisasi Masa Lalu dan Tantangan Masa Depan*
Salah satu kritik utama Cak Nur terhadap umat Islam adalah kecenderungan untuk mensakralkan masa lalu secara membabi buta. Ia menilai bahwa kebesaran sejarah Islam sering kali hanya menjadi mitos, bukan inspirasi untuk perubahan.
Begitu pula dalam pendidikan Islam. Banyak lembaga yang begitu menjaga bentuk formal, seragam syar’i, kurikulum yang penuh hafalan, dan narasi sejarah Islam yang selektif—tapi kehilangan daya hidup dalam membentuk pribadi yang berpikir kritis, terbuka, dan bertanggung jawab.
Cak Nur justru mendorong kita untuk belajar dari substansi Islam, bukan bentuknya. Ia kerap mengangkat istilah al-muhafazhatu ‘ala al-qadimi al-shalih wal akhdzu bi al-jadid al-ashlah (melestarikan nilai lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Inilah prinsip pendidikan Islam yang sejati menurutnya: dinamis, progresif, dan berpijak pada kemaslahatan.

*Spirit Cak Nur dalam Pendidikan Islam Kontemporer*
Jika kita ingin membangun lembaga pendidikan Islam yang mampu menjawab tantangan zaman, semangat Cak Nur bisa menjadi jembatan ideologis dan praksis.
Pertama, menempatkan akal dan ilmu sebagai instrumen utama pengabdian kepada Tuhan. Cak Nur menolak dikotomi ilmu agama dan ilmu umum. Baginya, semua ilmu yang membawa manusia pada kebaikan dan kebijaksanaan adalah bagian dari perintah Tuhan.
Kedua, membangun tradisi dialogis dalam belajar. Cak Nur meneladani model pendidikan Nabi Muhammad yang tidak otoriter, melainkan partisipatif. Ia percaya bahwa pendidikan bukan penyeragaman, tapi pembebasan. Bukan dogma, tapi dialektika.
Ketiga, mengusung nilai inklusif dan keberagaman. Dalam pandangan Cak Nur, pendidikan Islam tidak boleh terjebak dalam eksklusivisme identitas. Ia harus menjadi wadah semua kalangan untuk tumbuh bersama dalam semangat tauhid yang memanusiakan.

*Mengenalkan Kembali: Bukan Mengkultuskan*
Tentu, tidak semua pemikiran Cak Nur bisa diterima tanpa kritik. Bahkan beberapa pemikir kontemporer menyebutnya terlalu dekat dengan sekularisme Barat atau menabrak pakem-pakem fiqh klasik. Namun, justru dalam ruang itulah pendidikan kita bisa belajar tentang pentingnya berani berpikir.
Generasi muda muslim hari ini lebih dekat dengan TikTok daripada tafsir, lebih kenal fashion daripada fiqh. Maka, mengenalkan kembali tokoh seperti Nurcholish Madjid bukan untuk mengkultuskan, tapi untuk menyambungkan benang sejarah intelektual yang kaya kepada mereka.
Kita butuh narasi besar. Bukan hanya tentang kejayaan Islam abad ke-7, tapi juga tentang gagasan-gagasan yang relevan dengan realitas hari ini. Dalam hal ini, Cak Nur adalah bagian penting dari narasi itu.

*Menutup Pintu Ketertinggalan, Membuka Jendela Harapan*
Pendidikan Islam di Indonesia menghadapi tantangan besar: disparitas mutu, kekeringan metodologi, hingga keterasingan dari dunia nyata. Tapi selama semangat para pemikir besar seperti Cak Nur masih dibaca dan direnungkan, selalu ada harapan.
Cak Nur pernah berkata, “Jangan warisi abu dari api, tapi warisilah apinya.” Pesan ini sangat relevan untuk kita hari ini. Jangan sekadar mewarisi simbol-simbol kejayaan Islam, tapi warisilah semangat berpikir, keberanian bertanya, dan ketekunan mencari kebenaran.
Maka mari kita baca ulang karya-karya Cak Nur, bukan sebagai doktrin, tapi sebagai percikan api. Dari sana, mungkin akan tumbuh satu generasi baru, yang mencintai Islam dengan hati terbuka, yang berpikir kritis tanpa kehilangan adab, dan yang menjadikan pendidikan sebagai jalan jihad intelektual.
*Penutup*
Memperkenalkan kembali Nurcholish Madjid kepada generasi kini bukan semata mengenang tokoh besar. Ini adalah ikhtiar untuk membangun kembali semangat pendidikan Islam yang hidup, terbuka, dan bergerak maju. Kita tidak perlu sepakat atas semua pikirannya, tapi kita tidak boleh melupakannya.
Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati para pemikirnya. Dan umat yang cerdas adalah umat yang terus menyalakan api berpikir, bukan mewarisi abunya.
*) Penulis adalah Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang melakukan pengabdian sebagai:
– Ketua Umum Agerlip PP PGM Indonesia
– Wakil Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Sukabumi
– Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi- Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan dan Kaderisasi MUI Kota Sukabumi
– Ketua Komisi Bidang Pendidikan ICMI Kota Sukabumi
– Anggota Litbang, Perpustakaan, Kajian dan Kurikulum DKM Masjid Agung Kota Sukabumi
– Ketua FU-Warci (Forum Ukhuwah Islamiyah Warga Ciaul) Kota Sukabumi