Oleh: Dr H.Mulyawan Safwandy Nugraha, M.Ag., M.Pd
Dosen Kepemimpinan Pendidikan Prodi Manajemen Pendidikan IslamUIN Sunan Gunung Djati Bandung
====================
Beberapa tahun lalu, saya mengikuti rapat strategis di sebuah lembaga yang sedang bersiap menyambut pimpinan baru. Begitu orangnya masuk ruangan, atmosfer langsung berubah. Tegas, percaya diri, dan kharismatik. Ia tak butuh waktu lama untuk memukau semua yang hadir. Suaranya mantap, gesturnya presisi, dan visinya terdengar seperti angin segar bagi organisasi yang sudah lama stagnan. Saya sendiri sempat berpikir, akhirnya, seseorang yang tahu apa yang dia lakukan.
Namun, seperti banyak kisah yang terlalu sempurna di awal, ternyata pesona itu menyimpan sesuatu. Tiga bulan kemudian, suasana rapat mulai berubah. Pertanyaan-pertanyaan sederhana dianggap sebagai bentuk pembangkangan. Kritik disambut dengan sinis, bahkan di beberapa kasus, mereka yang vokal mulai “diparkir” atau dikucilkan secara halus. Semuanya menjadi lebih kaku, lebih sunyi. Orang-orang mulai menjaga jarak. Dan pemimpin yang dulu dielu-elukan, kini mulai menciptakan suasana kerja yang penuh tekanan, bahkan rasa takut.
Fenomena ini bukan hal baru. Dalam banyak organisasi, baik swasta maupun publik, pemimpin narsistik kerap tampil seperti penyelamat di awal kemunculannya. Mereka tahu betul bagaimana mencuri perhatian, memanipulasi persepsi, dan membentuk citra “pemimpin kuat” yang sangat menjual di zaman yang terobsesi dengan performa dan pencitraan. Dalam istilah psikologis, mereka menunjukkan gejala *Narcissistic Personality Disorder (NPD)* — gangguan kepribadian yang ditandai dengan rasa superioritas yang berlebihan, kebutuhan konstan akan pujian, serta kurangnya empati terhadap orang lain.
Masalahnya, dalam dunia yang makin cepat dan penuh tekanan, tipe pemimpin seperti ini justru sering naik daun. Mereka adalah _great presenters, bukan necessarily great leaders_. Mereka pintar membuat janji, menyusun narasi besar, bahkan mengatur suasana agar terlihat selalu dalam kendali. Namun di balik layar, mereka sulit menerima kritik, cenderung mengambil keputusan impulsif demi pencitraan, dan membentuk lingkungan kerja yang tidak sehat.
Saya teringat sebuah percakapan ringan dengan seorang rekan kerja. Ia berkata, “Bosku sekarang hebat sih… tapi capek banget kerja bareng dia.” Ketika saya tanya kenapa, ia menjelaskan bahwa setiap hari seperti berada di panggung. Semua harus tampak sempurna. Tak ada ruang untuk salah, apalagi diskusi terbuka. Segala keputusan mutlak dari atas. “Ini bukan kerja tim lagi, tapi drama tunggal,” katanya sambil tertawa getir.
Menurut Jean Twenge dan W. Keith Campbell (2009), budaya narsisme tumbuh subur di tengah masyarakat yang sangat mementingkan pencitraan dan validasi eksternal. Media sosial, budaya personal branding, bahkan sistem kerja yang terlalu fokus pada hasil jangka pendek, turut menyuburkan iklim ini. Dalam konteks kepemimpinan, ini jadi berbahaya. Karena bukan hanya pemimpin yang ‘bermasalah’ yang perlu dikritisi, tetapi juga sistem yang memberi ruang dan penghargaan pada gaya kepemimpinan toksik.
Tokoh kepemimpinan seperti Simon Sinek pernah berkata, “Pemimpin hebat tidak menciptakan pengikut, mereka membentuk pemimpin baru.” Ini adalah kutipan yang penting untuk diingat. Seorang pemimpin sejati akan fokus membangun tim, menciptakan ruang aman, dan memfasilitasi pertumbuhan orang lain—bukan sekadar memoles citra pribadinya. Kepemimpinan bukanlah soal menjadi pusat perhatian, tetapi tentang bagaimana membuat orang lain merasa mereka bagian penting dari perjalanan bersama. Untuk hal ini, saya sendiri punya pendapat: _Pemimpin yang tidak tergantikan adalah pemimpin yang bisa digantikan._
Saya pernah bekerja dalam dua lingkungan lembaga yang sangat kontras. Yang satu dipimpin oleh figur dominan dan narsistik; yang lainnya oleh pemimpin yang tenang, kolaboratif, dan empatik. Di tempat pertama, setiap minggu terasa seperti bertahan di tengah badai ego. Di tempat kedua, suasana lebih sederhana, lebih manusiawi. Tapi anehnya, hasil kerjanya jauh lebih produktif. Mengapa? Karena orang merasa aman untuk berpikir, mencoba, dan berbuat salah tanpa dihukum.
Kita sering terjebak dalam kesalahan menilai kepemimpinan dari tampilan luar. Padahal, sebagaimana dalam hubungan pribadi, yang paling penting bukanlah bagaimana seseorang terlihat di depan publik, tapi bagaimana mereka memperlakukan orang-orang terdekatnya—dalam hal ini, timnya sendiri. Karisma bisa memikat, tapi empati-lah yang menyatukan.
Ini bukan berarti semua pemimpin percaya diri adalah narsistik. Namun, penting bagi kita sebagai masyarakat, organisasi, bahkan sebagai individu yang suatu saat mungkin akan memimpin, untuk bertanya: Apakah saya (atau kita) terlalu mudah terpesona oleh penampilan luar? Apakah kita memberi ruang bagi mereka yang bijak, meski tidak flamboyan? Apakah kita ikut mendukung sistem yang menghargai hasil semata, tanpa peduli bagaimana cara mencapainya?
Perubahan dimulai dari kesadaran. Dari kemampuan untuk melihat lebih dalam, melewati lapisan pencitraan, dan menilai esensi kepemimpinan sejati: keberanian untuk jujur, kekuatan untuk mendengar, dan kerendahan hati untuk terus belajar.
Karena dunia yang semakin kompleks seperti sekarang tidak membutuhkan lebih banyak pemimpin narsistik. Yang kita butuhkan adalah pemimpin yang bisa membimbing dengan hati, bukan memimpin dengan topeng.Karena dunia yang semakin kompleks seperti sekarang tidak membutuhkan lebih banyak pemimpin narsistik. Yang kita butuhkan adalah pemimpin yang bisa membimbing dengan hati, bukan memimpin dengan topeng yang penuh make-up. Jangan sampai terjadi: wajah putih karena rajin pakai skin care, tapi leher tetap saja coklat/sawo matang.
catatan : NPD SESI 2
