Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha

Hari ini, langit tampak biasa saja. Tidak ada terompet ditiup, tak ada pesta kembang api. Tapi di dalam hati, ada getar halus yang mengingatkan kita: hari ini adalah 1 Muharram 1447 Hijriyah. Bagi banyak orang, itu hanya angka dalam kalender Islam. Namun bagi yang mau merenung, ini adalah titik tolak. Sebuah undangan sunyi dari langit agar kita memulai perjalanan: dari gelap menuju terang, dari rutinitas menuju kesadaran.

Hijrah. Kata ini telah menjadi simbol dari sesuatu yang agung. Ia bukan sekadar perpindahan Nabi dari Makkah ke Madinah. Ia adalah langkah sadar untuk meninggalkan sesuatu yang salah, meski terasa nyaman, menuju sesuatu yang benar, meski terasa berat. Hijrah adalah lompatan iman yang berani. Sebuah keputusan untuk tidak tinggal diam dalam kubangan kebiasaan. Seperti kata pepatah Arab: man istawa yaumahu fahuwa maghbun – siapa yang harinya sama dengan kemarin, maka ia adalah orang yang merugi.

Saya teringat obrolan sederhana bersama guru saya saat di pesantren tiga puluhan tahun lalu, di suatu sore yang tenang di halaman rumah. Beliau berkata sambil menatap langit, “Hidup ini, Nak, seperti langit yang berganti warna. Jangan kamu terlalu betah pada satu warna, karena keindahan justru muncul dari perubahan.” Kalimat itu sederhana, tapi entah mengapa terus saya ingat hingga kini. Barangkali karena itulah inti hijrah: keberanian mencintai perubahan.

Dalam perjalanan hidup, kita akan sering dihadapkan pada pilihan: diam atau bergerak, bertahan atau bertumbuh. Sayangnya, banyak dari kita memilih diam karena takut salah arah. Padahal diam juga sebuah pilihan—dan kadang, pilihan itu lebih mematikan daripada salah jalan. Di antara birth dan death, seperti yang pernah ditulis Viktor Frankl (1984), ada ruang kebebasan untuk memilih. Di situlah letak kemuliaan manusia.

Hijrah bukan berarti semuanya langsung berubah drastis. Ia bukan revolusi yang gegap gempita, tapi lebih mirip gerimis malam: pelan, tapi menembus sampai ke dalam. Ia dimulai dari hal kecil—seperti memilih kata yang lebih lembut, atau menahan diri dari satu keluhan hari ini. Hijrah adalah keberanian untuk menyapa diri sendiri yang lebih jujur dan tulus, lalu berkata: “Ayo, kita perbaiki pelan-pelan.”

Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa yang berhijrah adalah orang yang “meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” Tetapi dalam tafsir yang lebih luas, hijrah juga berarti meninggalkan apa yang membuat jiwa kita tumpul: kemalasan, iri hati, dendam lama, atau mungkin sekadar rutinitas yang membosankan tapi terus kita pelihara. Kadang, yang paling sulit bukanlah melawan musuh di luar, tapi berdamai dengan luka yang kita peluk diam-diam.

Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa yang berhijrah adalah orang yang “meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” Tetapi dalam tafsir yang lebih luas, hijrah juga berarti meninggalkan apa yang membuat jiwa kita tumpul: kemalasan, iri hati, dendam lama, atau mungkin sekadar rutinitas yang membosankan tapi terus kita pelihara. Kadang, yang paling sulit bukanlah melawan musuh di luar, tapi berdamai dengan luka yang kita peluk diam-diam.

Dalam Islam, perubahan adalah keniscayaan yang diridhai. Al-Qur’an bahkan menyiratkan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka. Perubahan itu dimulai bukan dari luar, tapi dari hati yang gelisah, yang tak mau pasrah menjadi sama terus-menerus. Hati yang lapar untuk tumbuh, meski perlahan. Hati yang siap bertanya pada dirinya sendiri: “Apakah aku sudah menjadi versi terbaik dari diriku?”

Hijrah adalah kisah tentang harapan. Di masa di mana banyak orang merasa terjebak—oleh ekonomi, oleh berita buruk, oleh kesepian yang pelan-pelan menyedot cahaya jiwa—kisah hijrah datang sebagai pelipur. Ia menyampaikan pesan halus: bahwa selalu ada jalan keluar, selama kita mau melangkah. Bahkan jika langkah itu kecil dan terseok, asal ia jujur, maka Allah akan menyertainya.

Sebagai guru dan dosen, saya sering bertanya pada murid-murid saya: “Apa hijrah kalian hari ini?” Mereka menjawab dengan polos: ada yang bilang mau lebih sabar, ada yang mau lebih rajin salat, ada yang sekadar ingin berhenti membentak adiknya. Saya mendengarkan dengan senyum. Karena itulah hijrah sejati: bukan pencitraan, tapi perbaikan dalam ruang-ruang yang paling sunyi.

Kita tidak butuh momen besar untuk berubah. Cukup satu hari, satu niat, satu doa. Kadang, satu percakapan sederhana pun bisa mengguncang dan menumbuhkan. Seperti malam hijrah Nabi yang gelap tapi penuh cahaya, hidup kita pun bisa mulai bersinar dari satu keputusan kecil untuk tak lagi jadi manusia yang sama seperti kemarin.

Hijrah bukan akhir, tapi awal. Ia adalah cara Tuhan membisiki kita lewat waktu, bahwa takdir bukan untuk ditunggu, tapi diciptakan lewat keberanian berubah. Maka di awal tahun ini, mari kita renungkan: bukan hanya berapa banyak yang telah kita miliki, tapi seberapa dalam kita telah menjadi.

Mungkin itulah sebabnya hijrah adalah momentum untuk menjadi manusia. Apa resolusi Anda untuk hijrah tahun ini? Apakah ke arah untuk menjadi manusia? Atau hanya sebatas pemenuhan kebutuhan perut dan bawah perut?

Wallahu ‘a’lamu

——————-

Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Ketua Umum Agerlip PGM Indonesia. Wakil Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Sukabumi. Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi. Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan dan Kaderisasi MUI Kota Sukabumi. Ketua Komisi Bidang Pendidikan ICMI Kota Sukabumi. Litbang, Perpustakaan, Kajian dan Kurikulum DKM Masjid Agung Kota Sukabumi. Ketua FU-Warci (Forum Ukhuwah Islamiyah Warga Ciaul) Kota Sukabumi. Dosen luar biasa di Institut KH. Ahmad Sanusi (Inkhas) Sukabumi, STAI Al-Masthuriyah Tipar Sukabumi dan STAI Kharisma Sukabumi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *