KAMANDANG.ID — Sukabumi 12 juni 2025
Dalam sistem jaminan sosial nasional, BPJS Kesehatan seharusnya menjadi garda depan perlindungan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk masyarakat Kabupaten Sukabumi. Namun sayangnya, yang terjadi di lapangan justru jauh dari harapan. Alih-alih menjadi solusi, pelayanan BPJS di Kabupaten Sukabumi kini justru menjadi sumber keluhan, frustrasi, dan ketidakpastian bagi warga yang sedang sakit.
Berdasarkan berbagai keluhan yang kami himpun dari masyarakat selama beberapa bulan terakhir, sejumlah masalah utama terus berulang tanpa solusi berarti. Mulai dari antrean panjang yang tidak manusiawi di puskesmas dan rumah sakit rujukan, hingga sistem rujukan yang berbelit dan tidak transparan. Tidak sedikit warga yang harus datang pukul 4 pagi hanya untuk mendapatkan nomor antrean, dan pulang dengan tangan kosong karena kuota pelayanan sudah penuh.
Layanan informasi pun sangat terbatas. Banyak peserta BPJS tidak memahami hak dan prosedur dasar, karena kurangnya sosialisasi dan tidak adanya pendampingan dari petugas. Yang lebih menyedihkan, perlakuan terhadap pasien BPJS kerap kali berbeda dengan pasien umum. Warga merasa seolah-olah mereka adalah “beban sistem” dan bukan bagian dari sistem itu sendiri.
Padahal secara normatif, hak atas pelayanan kesehatan yang layak dijamin secara tegas dalam berbagai regulasi. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan pelayanan kesehatan.” Lebih lanjut, dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, ditegaskan bahwa sistem jaminan sosial bertujuan untuk memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat.
Selain itu, dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, Pasal 56 ayat (3) menyatakan bahwa fasilitas kesehatan tingkat pertama dan rujukan wajib memberikan pelayanan kepada peserta sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan. Ini artinya, segala bentuk perlakuan diskriminatif, pelayanan yang lambat, atau sistem yang menyulitkan, jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak peserta dan kewajiban penyelenggara.
Hal ini menunjukkan adanya persoalan serius dalam tata kelola pelayanan publik, khususnya di bidang kesehatan. BPJS bukan hanya soal kartu peserta dan potongan iuran bulanan—ia adalah janji negara untuk menjamin hak dasar warga. Ketika janji itu dikhianati oleh buruknya layanan, yang tercederai bukan hanya kenyamanan, tapi juga martabat masyarakat.
Perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap kerja sama antara BPJS Kesehatan dan fasilitas kesehatan di Sukabumi, termasuk pengawasan terhadap kinerja tenaga medis dan sistem antrean. Pemerintah daerah juga harus lebih aktif, bukan hanya menjadi penonton atau sekadar perantara aduan.
Sudah saatnya kita berhenti menganggap keluhan masyarakat sebagai “masalah teknis”. Ini adalah masalah struktural yang membutuhkan keberanian untuk membenahi sistem dari akarnya. Jika tidak segera dibenahi, maka krisis kepercayaan terhadap BPJS akan makin meluas, dan masyarakat kecil akan terus menjadi korban dari sistem yang mereka ikut danai, tapi tak pernah benar-benar mereka nikmati.
Kesehatan bukan soal belas kasihan. Ia adalah hak. Dan negara—melalui BPJS dan pemerintah daerah—harus hadir sepenuhnya untuk menjamin bahwa hak itu tidak hanya hidup di atas kertas.